KONSERVASI ARSITEKTUR VIII
Ø Kriteria Konservasi
Dalam pelaksanaan atau penjabaran suatu konsep konservasi perlu ditentukan sejumlah tolak ukur (kriteria) dan motivasi. Tetapi terlebih dahulu harus ada dasar yang kokoh untuk mengetahui bagian mana yang dari kota dan bangunan apa yang perlu untuk dilestarikan. Pada studi yang telah dilakukan oleh Lubis pada tahun 1990 dengan meninjau kriteria-kriteria yang digunakan di Nepal, Inggris, dan Australia disimpulkan bahwa tiap negara memiliki kriteria yang berbeda dalam menentukan obyek yang perlu dilestarikan, tergantung dari definisi yang digunakan dan sifat obyek yang dipertimbangkan (Lubis, 1990:88-89). Kriteria yang digunakan untuk menentukan obyek yang perlu dilestarikan seperti yang dikemukakan oleh Catanese (1979), Pontoh (1992), dan Harvey (dalam Nasir, 1979) juga memiliki beberapa perbedaan. Dari kriteria-kriteria menurut pendapat para ahli, disimpulkan bahwa kriteria yang digunakan untuk menentukan bangunan dan kawasan yang perlu dilestarikan adalah:
Ø Estetika Bangunan : Istilah estetika dapat digunakan untuk mengganti pengertian indah, bagus, menarik, atau mempesona (Lubis, 1990:96). Penilaian estetika suatu bangunan sangat tergantung dari perasaan, pikiran, pengaruh lingkungan, dan norma yang bekerja pada diri pengamat. Estetika suatu bangunan sangat terkait erat dengan Universitas Sumatera Utara 21 penampilan bangunan, wajah bangunan dan tampak bangunan yang kita lihat dengan mata sebelum dirasakan kesan estetisnya dalam perasaan.
Ø Kejamakan : Yang dilestarikan berupa kawasan atau bangunan yang cukup berperan. Tolok ukur kejamakan diukur pada seberapa jauh karya arsitektur tersebut mewakili suatu ragam atau jenis yang spesifik. Dalam hal ini, ragam/langgam yang spesifik adalah langgam yang pernah ada di kota Medan pada masa kolonial yang menunjukkan rantai perkembangan arsitektur kota Medan, yaitu (Ellisa, 1996): langgam arsitektur Klasik/ Kolonial (Neoklasik/ Art Deco/ Gothic/ Renaisans/ Romanik), langgam arsitektur Kolonial tropis (langgam arsitektur Klasik yang telah diadaptasi dengan iklim tropis di Indesia), langgam arsitektur Eklektik/Indisch Style (langgam arsitektur Klasik/Kolonial tropis yang mengandung unsur tradisional Melayu atau daerah lainnya di Indonesia), langgam arsitektur campuran (Klasik/Kolonial dengan Cina, Islam, atau India, atau campuran diantaranya), langgam arsitektur Cina, langgam arsitektur Melayu, langgam arsitektur India, langgam arsitektur Malaka (Melayu-Cina), langgam arsitektur Islam, langgam arsitektur Modern Fungsional.
Ø Kelangkaan : Kriteria kelangkaan menyangkut jumlah dari jenis bangunan peninggalan sejarah dari langgam tertentu. Tolak ukur kelangkaan yang digunakan adalah bangunan dengan langgam arsitektur yang masih asli sesuai dengan asalnya. Yang termasuk kategori langgam arsitektur yang masih asli adalah (Ellisa, 1996): langgam arsitektur Belanda Klasik/Kolonial (Neoklasik/Art Universitas Sumatera Utara 22 Deco/Gothic/Renaisans/Romanik), langgam arsitektur Melayu, langgam arsitektur Cina, langgam arsitektur Malaka, langgam arsitektur India, dan langgam arsitektur Islam.
Ø Keistimewaan/keluarbiasaan : Tolak ukur yang digunakan untuk menilai keistimewaan/keluarbiasaan suatu bangunan adalah bangunan yang memiliki sifat keistimewaan tertentu sehingga memberikan kesan monumental, atau merupakan bangunan yang pertama didirikan untuk fungsi tertentu (misalnya Mesjid pertama, Gereja pertama, sekolah pertama, dan lain-lain). Kesan monumental suatu bangunan dinilai dari skala monumental yang dimiliki bangunan tersebut. Menurut Raskin (1954:50), dengan melihat bangunan yang memiliki skala monumental diharapkan pengamat akan merasa terkesan (impressed) dan kagum, tetapi bukannya merasa takut karena merasa kecil dan rapuh.
Ø Peranan sejarah : Tolak ukur yang digunakan untuk menilai bangunan yang memiliki peranan sejarah adalah bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan masa lalu kota dan bangsa, merupakan suatu peristiwa sejarah, baik sejarah kota Medan, sejarah Nasional, maupun sejarah perkembangan kota; bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan orang terkenal atau tokoh penting; bangunan hasil pekerjaan seorang arsitek tertentu, dalam hal ini adalah arsitek yang berperan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa kolonial. Universitas Sumatera Utara 23
Ø Penguat kawasan di sekitarnya : Tolak ukur yang digunakan adalah bangunan yang menjadi landmark bagi lingkungannya, dimana kehadiran bangunan tersebut dapat meningkatkan mutu/kualitas dan citra lingkungan sekitarnya. Beberapa keadaan yang dapat memudahkan pengenalan terhadap suatu bangunan sehingga dapat menjadi ciri dari suatu landmark antara lain adalah (Lynch, 1992:79-83): bangunan yang terletak di suatu tempat yang strategis dari segi visual, yaitu di persimpangan jalan utama atau pada posisi „tusuk sate‟ dari suatu pertigaan jalan; bentuknya istimewa, karena besarnya, panjangnya, keindahannya, ketinggiannya, atau karena keunikan bentuknya; jenis penggunaanya, semakin banyak orang yang menggunakannya maka akan semakin mudah pula pengenalan terhadapnya; sejarah perkembangannya, yang semakin besar peristiwa bersejarah yang terkait terhadapnya maka semakin mudah pula pengenalan terhadapnya.
Komentar
Posting Komentar