Konservasi Arsitektur III
Ø Peran
Arsitek Dalam Konservasi
Internal:
- Meningkatkan
kesadaran di kalangan arsitek untuk mencintai dan mau memelihara warisan
budaya berupa kawasan dan bangunan bersejarah atau bernilai arsitektural
tinggi.
- Meningkatkan
kemampuan serta penguasaan teknis terhadap jenis-jenis tindakan pemugaran
kawasan atau bangunan, terutama teknik adaptive reuse
- Melakukan penelitian
serta dokumentasi atas kawasan atau bangunan yang perlu dilestarikan.
Eksternal:
- Memberi masukan
kepada Pemda mengenai kawasan-kawasan atau bangunan yang perlu dilestarikan
dari segi arsitektur.
- Membantu Pemda dalam
menyusun Rencana Tata Ruang untuk keperluan pengembangan kawasan yang
dilindungi (Urban Design Guidelines)
- Membantu Pemda dalam
menentukan fungsi atau penggunaan baru bangunan-bangunan bersejarah atau bernilai
arsitektural tinggi yang fungsinya sudah tidak sesuai lagi (misalnya bekas
pabrik atau gudang) serta mengusulkan bentuk konservasi arsitekturalnya.
- Memberikan
contoh-contoh keberhasilan proyek pemugaran yang dapat menumbuhkan
keyakinan pengembang bahwa dengan mempertahankan identitas
kawasan/bangunan bersejarah, pengembangan akan lebih memberikan daya tarik
yang pada gilirannya akan lebih mendatangkan keuntungan finansial.
Ø Dasar Pelaksanaan Konservasi
Pelaksanaan konservasi mengacu prinsip utama
mempertahankan karakter fisik yang ada dan memberikan manfaat baru.
Skala atau lingkup konservasi dapat meliputi
:
1.
Suatu
kota atau desa secara keseluruhan (historic town or village) misalnya desa adat
Tenganan di Bali, Kampung Naga
2.
Suatu
daerah bagian kota (historic town distric) misalnya Kota Lama Semarang,
Kompleks Keraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta
3.
Bangunan
atau karya arsitektur tunggal, misalnya Lawang Sewu dan mesjid Kauman
4.
Rumah
Museum (house Museum) rumah yang mempunyai nilai historis dan sudah tidak
berfungsi sebagai rumah tetapi sebagai museum misalnya Rumah George Washington,
Rumah Rengas Dengklok, Rumah Bung Karno di Peganggsaan Timur Jakarta.
5.
Ruang
Historic (Historic Room) sebuah ruang yang mempunyai nilai sejarah misalnya
Surennder Room, ruang tempat jenderal jepang menyerah pada sekutu.
Ø
Kriteria
Konservasi
Dalam pelaksanaan
atau penjabaran suatu konsep konservasi perlu ditentukan sejumlah tolak ukur
(kriteria) dan motivasi. Tetapi terlebih dahulu harus ada dasar yang kokoh
untuk mengetahui bagian mana yang dari kota dan bangunan apa yang perlu untuk
dilestarikan. Pada studi yang telah dilakukan oleh Lubis pada tahun 1990 dengan
meninjau kriteria-kriteria yang digunakan di Nepal, Inggris, dan Australia
disimpulkan bahwa tiap negara memiliki kriteria yang berbeda dalam menentukan
obyek yang perlu dilestarikan, tergantung dari definisi yang digunakan dan
sifat obyek yang dipertimbangkan (Lubis, 1990:88-89). Kriteria yang digunakan
untuk menentukan obyek yang perlu dilestarikan seperti yang dikemukakan oleh
Catanese (1979), Pontoh (1992), dan Harvey (dalam Nasir, 1979) juga memiliki
beberapa perbedaan. Dari kriteria-kriteria menurut pendapat para ahli,
disimpulkan bahwa kriteria yang digunakan untuk menentukan bangunan dan kawasan
yang perlu dilestarikan adalah:
Ø
Estetika Bangunan : Istilah estetika dapat digunakan untuk
mengganti pengertian indah, bagus, menarik, atau mempesona (Lubis, 1990:96).
Penilaian estetika suatu bangunan sangat tergantung dari perasaan, pikiran,
pengaruh lingkungan, dan norma yang bekerja pada diri pengamat. Estetika suatu
bangunan sangat terkait erat dengan Universitas Sumatera Utara 21 penampilan
bangunan, wajah bangunan dan tampak bangunan yang kita lihat dengan mata
sebelum dirasakan kesan estetisnya dalam perasaan.
Ø
Kejamakan : Yang dilestarikan berupa kawasan
atau bangunan yang cukup berperan. Tolok ukur kejamakan diukur pada seberapa
jauh karya arsitektur tersebut mewakili suatu ragam atau jenis yang spesifik.
Dalam hal ini, ragam/langgam yang spesifik adalah langgam yang pernah ada di
kota Medan pada masa kolonial yang menunjukkan rantai perkembangan arsitektur
kota Medan, yaitu (Ellisa, 1996): langgam arsitektur Klasik/ Kolonial
(Neoklasik/ Art Deco/ Gothic/ Renaisans/ Romanik), langgam arsitektur Kolonial
tropis (langgam arsitektur Klasik yang telah diadaptasi dengan iklim tropis di
Indesia), langgam arsitektur Eklektik/Indisch Style (langgam arsitektur
Klasik/Kolonial tropis yang mengandung unsur tradisional Melayu atau daerah
lainnya di Indonesia), langgam arsitektur campuran (Klasik/Kolonial dengan
Cina, Islam, atau India, atau campuran diantaranya), langgam arsitektur Cina,
langgam arsitektur Melayu, langgam arsitektur India, langgam arsitektur Malaka
(Melayu-Cina), langgam arsitektur Islam, langgam arsitektur Modern Fungsional.
Ø
Kelangkaan : Kriteria kelangkaan menyangkut
jumlah dari jenis bangunan peninggalan sejarah dari langgam tertentu. Tolak
ukur kelangkaan yang digunakan adalah bangunan dengan langgam arsitektur yang
masih asli sesuai dengan asalnya. Yang termasuk kategori langgam arsitektur
yang masih asli adalah (Ellisa, 1996): langgam arsitektur Belanda
Klasik/Kolonial (Neoklasik/Art Universitas Sumatera Utara 22
Deco/Gothic/Renaisans/Romanik), langgam arsitektur Melayu, langgam arsitektur
Cina, langgam arsitektur Malaka, langgam arsitektur India, dan langgam
arsitektur Islam.
Ø
Keistimewaan/keluarbiasaan : Tolak ukur yang
digunakan untuk menilai keistimewaan/keluarbiasaan suatu bangunan adalah
bangunan yang memiliki sifat keistimewaan tertentu sehingga memberikan kesan
monumental, atau merupakan bangunan yang pertama didirikan untuk fungsi
tertentu (misalnya Mesjid pertama, Gereja pertama, sekolah pertama, dan
lain-lain). Kesan monumental suatu bangunan dinilai dari skala monumental yang
dimiliki bangunan tersebut. Menurut Raskin (1954:50), dengan melihat bangunan
yang memiliki skala monumental diharapkan pengamat akan merasa terkesan
(impressed) dan kagum, tetapi bukannya merasa takut karena merasa kecil dan
rapuh.
Ø
Peranan sejarah : Tolak ukur yang digunakan
untuk menilai bangunan yang memiliki peranan sejarah adalah bangunan atau
lokasi yang berhubungan dengan masa lalu kota dan bangsa, merupakan suatu
peristiwa sejarah, baik sejarah kota Medan, sejarah Nasional, maupun sejarah
perkembangan kota; bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan orang terkenal
atau tokoh penting; bangunan hasil pekerjaan seorang arsitek tertentu, dalam
hal ini adalah arsitek yang berperan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia
pada masa kolonial. Universitas Sumatera Utara 23
Ø
Penguat kawasan di sekitarnya : Tolak ukur yang
digunakan adalah bangunan yang menjadi landmark bagi lingkungannya, dimana
kehadiran bangunan tersebut dapat meningkatkan mutu/kualitas dan citra
lingkungan sekitarnya. Beberapa keadaan yang dapat memudahkan pengenalan
terhadap suatu bangunan sehingga dapat menjadi ciri dari suatu landmark antara
lain adalah (Lynch, 1992:79-83): bangunan yang terletak di suatu tempat yang
strategis dari segi visual, yaitu di persimpangan jalan utama atau pada posisi
„tusuk sate‟ dari suatu pertigaan jalan; bentuknya istimewa, karena besarnya,
panjangnya, keindahannya, ketinggiannya, atau karena keunikan bentuknya; jenis
penggunaanya, semakin banyak orang yang menggunakannya maka akan semakin mudah
pula pengenalan terhadapnya; sejarah perkembangannya, yang semakin besar
peristiwa bersejarah yang terkait terhadapnya maka semakin mudah pula
pengenalan terhadapnya.
Sumber :
https://urbanpages.wordpress.com/pelaksanaan-konservasi-dalam-arsitektur/
Komentar
Posting Komentar