DISKRIMINASI

Diskriminasi
Diskriminasi adalah tindakan yang memperlakukan satu orang atau satu kelompok secara kurang adil atau kurang baik daripada orang atau kelompok yang lain. Diskriminasi dapat bersifat langsung atau tidak langsung dan didasarkan pada faktor-faktor yang sama seperti premanisme dan pelecehan. Diskriminasi dapat dilakukan oleh individu, kelompok, atau kebijakan dan praktik organisasi. Komisi Hak Asasi Manusia Australia (Australian Human Rights Commission) mengatur hukum Persemakmuran dalam bidang hak asasi manusia, anti-diskriminasi, dan keadilan sosial. Di bawah hukum anti-diskriminasi federal dan negara bagian/teritori, tidak ada orang yang boleh diperlakukan secara kurang baik daripada orang lain karena umur, ras, negara asal, jenis kelamin, status pernikahan, kehamilan, kepercayaan politik atau agama, cacat tubuh atau preferensi seksual. Hal ini berlaku untuk sebagian besar area, termasuk di pekerjaan, pendidikan, akomodasi, pembelian barang, dan akses ke berbagai layanan, seperti dokter, bank, dan hotel. Pria dan wanita setara di bawah hukum dan untuk semua tujuan yang lain.

Contoh Diskriminasi
Peristiwa kekerasan yang terjadi di Kabupaten Tolikara hanyalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan dan diskriminasi yang mengendap di Papua. Tidak hanya Tolikara, selama ini kasus kekerasan yang seringkali berpangkal pada persoalan diskriminasi di Papua tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Kasus-kasus yang ada dibiarkan menguap bahkan sepi dari pemberitaan media.

"Kasus Tolikara hanya satu bagian dari sejumlah kekerasan yang terjadi di Papua. Pemerintah perlu segera memberikan penanganan yang komprehensif berbasis perlindungan dan pemenuhan hak konstitusi di Papua," kata Ketua Komnas Perempuan, Azriana, melalui siaran pers yang dikirimkan Komnas Perempuan kepada CNN Indonesia, Kamis (23/7). Pada 17 Juli lalu, sebuah insiden kekerasan terjadi di Tolikara. Umat muslim yang hendak melakukan solat Idul Fitri didatangi sejumlah orang yang meminta agar kegiatan ibadah itu dihentikan menyusul terbitnya dari Dewan Pekerja Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara, Papua. GIDI meminta agar umat islam untuk tidak mengerahkan dan mengundang massa dalam jumlah besar karena pada 13 hingga 19 Juli 2015 GIDI memiliki agenda seminar wilayah tersebut. Kekerasan di Tolikara mengakibatkan terbakarnya sebuah mesjid, sejumlah pertokoan dan rumah. Seorang anak meninggal akibat penembakan dan sebelas orang mengalami luka-luka. Menurut catatan Komnas Perempuan, kekerasan di Tolikara bukan baru kali ini terjadi.
Pada Pemilihan Kepala Deerah (Pilkada) 2012 lalu, Tolikara juga diwarnai dengan kekerasan. Tidak sedikit bangunan dibakar termasuk rumah-rumah penduduk dan gereja dengan korban 14 orang meninggal karena konflik terkait Pilkada. Terhadap berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Papua, misalnya kasus di Timika, Biak, Wandama, Wamena, Paniai, dan lain-lain, sejauh ini Komnas HAM dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sudah memberikan rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti pemerintah maupun aparat Penegak Hukum, namun hingga sekarang belum ada kejelasan penanganan.

Komnas Perempuan menilai, aparat Penegak Hukum belum menangani kasus secara tuntas adapun Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat juga tidak melakukan upaya penyelesaian secara sistemik untuk menjamin pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Itu semua merupakan bagian dari mandat konstitusi pemerintah.

"Oleh karena itu, kami mendorong Kapolri dan Kapolda Papua untuk mengusut tuntas tindak kekerasan ini beserta lainnya yang pernah terjadi di Kabupaten Tolikara," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah.

Komnas Perempuan menyayangkan minimnya upaya pencegahan dari aparat keamanan dan Pemerintah Daerah dalam peristiwa 17 Juli 2015, padahal upaya-upaya provokasi massa dengan penggunaan isu agama yang berujung pada kerusuhan atau kekerasan, bukan hal baru di Indonesia. Kejadian serupa sudah pernah terjadi di beberapa daerah lainnya, menurut Yuniyanti semestinya aparat keamanan dan pemerintah sudah harus lebih siap untuk mengantisipasi dan melakukan pencegahan.

Sebelumnya, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti menyatakan bakal menegakkan hukum dalam penyelesaian insiden Tolikara, Papua. Hal itu termasuk melakukan investigasi terhadap aparat penembak warga saat kegaduhan terjadi. "Saya juga minta dilakukan pemeriksaan terhadap penembak. Apakah penembakkan tersebut dilakukan sesuai prosedur atau tidak. Kalau sudah sesuai itu merupakan bagian dari tugas pokoknya,” ujarnya di rumah dinas Kepala Badan Intelijen Negara, Sutiyoso, Jakarta, Kamis (23/7).

Hingga saat ini diungkapkan Badrodin, tim penyidik polisi sudah melakukkan pemeriksaan terhadap lima puluh saksi dan segera menetapkan tersangka keributan tersebut.

"Mudah-mudahan hari ini sudah ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Tapi saya tidak mengatakan jika belum dilakukan penangkapan," ujarnya.


Selain soal polisi penembak, Badrodin juga berjanji untuk melakukan penegakkan hukum terhadap para perusuh yang menyebabkan pecahnya insiden. Menurutnya setelah melihat langsung tempat kejadian perkara, Sabtu pekan lalu, tindakan para perusuh sudah mengarah pada pelanggaran hukum.

Komentar

Postingan Populer